Halaman

Senin, 16 Maret 2015

Magnet Syukur




Rumah saya kecil adanya. Di dalamnya saya hidup bersama istri dengan ketiga anak yang semakin besar saja. Semakin besarnya mereka, seakan-akan rumah kami ini menjadi menyempit saja rasanya. Belumlah lagi ketiga adik kakak ini yang sedang dalam fase aktif tingkat paripurna. Si kakak yang gemar menggambar tapi selalu membiarkan krayon-krayonnya tercecer di sana-sini. Sedang si kedua adik yang sedang banyak bereksplorasi dengan lingkunganya. Tak ayal tembok rumahku ini penuh dengan sentuhan anak-anak kami. Berwarna-warni pula. Tembok-tembok inilah yang mendadak menjadi kanvas raksasa bagi mereka. Sepertinya tidak ada sejengkal tembokpun yang luput dari jarahan krayon anak-anak kami ini. Untuk mengurusi ketiga buah hati ini pasti sangat melahkan, hingga tak bijak juga jika saya menyalahkan istri tak mampu menata ruang rumah kami ini.
Maka jika saya pulang kerja dengan membawa kepenatan ekstra, kemudian begitu membuka pintu kudapati rumah kecil ini semacam perahu tak bernahkoda yang habis terhempas karang. Kacau dan berantakan sekali. Seluruh mainan berhamburan di sekujur ruang rumah. Bukan itu saja, masih banyak benda-benda yang salah tempat. Ada sarung lusuh yang menggantung di handle pintu, ada bekas ompol si adik yang masih menggunung di sudut dinding, kutang istri yang bertengger di kursi komputer, jemuran setengah kering yang menumpuk di sofa, dan seragam si kakak yang masih tergeletak di lantai sejak pulang sekolah siang tadi.
Mendadak aku menjadi berpikir betapa merananya rumah kecil ini. Sudah lah kecil masih dijejali dengan kesemerawutan tingkat kolosal pula.
* * *
Hingga pada suatu kesempatan, dalam sebuah perjalanan. Saya menyempatkan untuk menapak tilas tempat kami mengontrak rumah dulu. Kontrakan ini terletak di lorong sempit di sebuah gang. Ia hanya tersekat dengan tiga ruang yang sempit, sesak, lembab dan pengap.
Di kontrakan sesempit ini, jika ada satu tikus saja yang masuk pasti mendadak menjadi malapetaka yang begitu besar. Semua yang kami pegang tiba-tiba melayang demi mengusir tikus sial ini. Dan begitu tikus ini benar-benar pergi, kemudian kami mendapati rumah kontrakan ini mengalami kesemrawutan yang masif. Kisah ini semakin menegaskan hubungan saya dengan hewan pengerat ini adalah hubungan yang saling mendestruksi. Saling  menghancurkan. Cerita tentang tikus-tikus sial ini akan saya ceritakan di esai yang lain.
Segala kenangan tentang rumah kontrakan itulah yang sedang saya rekontruksi kembali ketika motor saya arahkan menuju gang kontrakan kami dulu. Dan begitu gang ini saya masuki segera disusul dengan degup jantung yang memburu. Napas tiba-tiba menyesak. Tidak banyak yang berubah dengan gang ini. Kontrakan itu pun mungkin sudah berganti berpuluh penghuni. Kenangan bertahun lalu kembali  berkelindan di benak.
Di jalan ini dulu setiap pagi saya dorong troli si sulung untuk menghirup udara sampai ia tertidur, sementara ibunya menyiapkan sarapan. Di warung pojok lapangan itu biasa kami berlanja urusan dapur. Segenap kenangan itu makin jelas tergambar kembali. Dan lorong menuju rumah kontrakan ini masih saja kecil, lembab dan pengap. Di lorong yang menanjak itulah motor saya seringkali tergelincir.
Kali ini napas saya benar-benar semakin sesak. Tak betah lama saya di sana untuk segera melaju pulang.
Dan begitu sampai di halaman rumah, napas sudah jauh menjadi normal dan tenang. Berjarak belasan meter dari rumah saya ini, hati saya sudah sangat tenang. Rumah saya ini tetap saja kecil adanya, tetapi kedamaiannya telah ia pancarkan. Begitu pintu saya buka, rumah ini memang masih berantakan pula, tetapi ketenangan segera menyambut menghampiri. Betapa di dalam rumah ini kami telah hidup menyejarah bersama. Rumah ini kami isi dengan perabot hasil rupiah yang kami kumpulkan; setumpuk demi setumpuk.
Pada rumah inilah kemudian kami tanam sebuah magnet berkekuatan besar bernama rasa syukur dan kerinduan. Sehingga kemanapun saya pergi tiada rasa lain selain rindu untuk kembali ke rumah. Semakin jauh saya pergi semakin kuat pula magnet ini menarik saya untuk segera kembali.
Saya seringkali menghadiri seminar-seminar dan rapat dengan fasilitas hotel berbintang di berbagai kota. Tetapi kualitas kasur di hotel-hotel ini kalah damai dengan lantai di rumah yang siap kapan saja menerima tubuh saya untuk merebahkan diri. Dalam kondisi seperti ini seringkali anak-anak menghampiri dan duduk bercanda di punggung yang penat. Pada momen seperti itulah kemudian kami tanam benih kerinduan semakin banyak.
Riuhnya teriakan dan tertawa anak-anak serta teh hangat yang selalu tersaji setiap pagi adalah beberapa diantara magnet itu.
Rumput-rumput gajah mini yang saya tanam, adalah sebagian dari rumah kami yang siap menyapa setiap saya membuka pintu pagi. Dan saya bisa jongkok berlama-lama bersama mereka, mengairi mereka dan mencabuti rerumputan liarnya. Ini adalah keasyikan yang tak tergantikan. Di waktu pagi biasanya datang berseliweran para pedagang. Ada yang jual roti, bubur ayam, ketupat sayur. Kami terbiasa saling sapa, meski saya jarang membelinya.
Dengan begitu banyak kedamaian yang tersedia di rumah ini, mendadak rumah ini menjadi semakin besar dibanding rumah kontrakan kami dulu dan menjadi terlalu kecil untuk menampung segenap perasaan romantisme kami dalam berkeluarga.
Dan begitulah manusia.... Mereka seringkali terlalu panjang angan-angan sehingga lupa untuk bersyukur atas apa yang telah mereka dapatkan.

1 komentar:

  1. update lagi dong om cerita2nya...sy suka gaya bahasanya...

    BalasHapus