Rumah
saya kecil adanya. Di dalamnya saya hidup bersama istri dengan ketiga anak yang
semakin besar saja. Semakin besarnya mereka, seakan-akan rumah kami ini menjadi
menyempit saja rasanya. Belumlah lagi ketiga adik kakak ini yang sedang dalam fase aktif
tingkat paripurna. Si kakak yang gemar menggambar tapi selalu membiarkan
krayon-krayonnya tercecer di sana-sini. Sedang si kedua adik yang sedang banyak
bereksplorasi dengan lingkunganya. Tak ayal tembok rumahku ini penuh dengan
sentuhan anak-anak kami. Berwarna-warni pula. Tembok-tembok inilah yang
mendadak menjadi kanvas raksasa bagi mereka. Sepertinya tidak ada sejengkal
tembokpun yang luput dari jarahan krayon anak-anak kami ini. Untuk mengurusi
ketiga buah hati ini pasti sangat melahkan, hingga tak bijak juga jika saya
menyalahkan istri tak mampu menata ruang rumah kami ini.
Maka
jika saya pulang kerja dengan membawa kepenatan ekstra, kemudian begitu membuka
pintu kudapati rumah kecil ini semacam perahu tak bernahkoda yang habis
terhempas karang. Kacau dan berantakan sekali. Seluruh mainan berhamburan di
sekujur ruang rumah. Bukan itu saja, masih banyak benda-benda yang salah
tempat. Ada sarung lusuh yang menggantung di handle pintu, ada bekas ompol si adik yang masih menggunung di
sudut dinding, kutang istri yang bertengger di kursi komputer, jemuran setengah
kering yang menumpuk di sofa, dan seragam si kakak yang masih tergeletak di
lantai sejak pulang sekolah siang tadi.
Mendadak
aku menjadi berpikir betapa merananya rumah kecil ini. Sudah lah kecil masih
dijejali dengan kesemerawutan tingkat kolosal pula.
* * *
Hingga
pada suatu kesempatan, dalam sebuah perjalanan. Saya menyempatkan untuk menapak
tilas tempat kami mengontrak rumah dulu. Kontrakan ini terletak di lorong
sempit di sebuah gang. Ia hanya tersekat dengan tiga ruang yang sempit, sesak, lembab
dan pengap.
Di
kontrakan sesempit ini, jika ada satu tikus saja yang masuk pasti mendadak
menjadi malapetaka yang begitu besar. Semua yang kami pegang tiba-tiba melayang
demi mengusir tikus sial ini. Dan begitu tikus ini benar-benar pergi, kemudian
kami mendapati rumah kontrakan ini mengalami kesemrawutan yang masif. Kisah ini
semakin menegaskan hubungan saya dengan hewan pengerat ini adalah hubungan yang
saling mendestruksi. Saling
menghancurkan. Cerita tentang tikus-tikus sial ini akan saya ceritakan di
esai yang lain.
Segala
kenangan tentang rumah kontrakan itulah yang sedang saya rekontruksi kembali
ketika motor saya arahkan menuju gang kontrakan kami dulu. Dan begitu gang ini
saya masuki segera disusul dengan degup jantung yang memburu. Napas tiba-tiba
menyesak. Tidak banyak yang berubah dengan gang ini. Kontrakan itu pun mungkin
sudah berganti berpuluh penghuni. Kenangan bertahun lalu kembali berkelindan di benak.
Di
jalan ini dulu setiap pagi saya dorong troli si sulung untuk menghirup udara sampai
ia tertidur, sementara ibunya menyiapkan sarapan. Di warung pojok lapangan itu
biasa kami berlanja urusan dapur. Segenap kenangan itu makin jelas tergambar
kembali. Dan lorong menuju rumah kontrakan ini masih saja kecil, lembab dan
pengap. Di lorong yang menanjak itulah motor saya seringkali tergelincir.
Kali ini napas saya
benar-benar semakin sesak. Tak betah lama saya di sana untuk segera melaju
pulang.
Dan
begitu sampai di halaman rumah, napas sudah jauh menjadi normal dan tenang.
Berjarak belasan meter dari rumah saya ini, hati saya sudah sangat tenang.
Rumah saya ini tetap saja kecil adanya, tetapi kedamaiannya telah ia pancarkan.
Begitu pintu saya buka, rumah ini memang masih berantakan pula, tetapi ketenangan
segera menyambut menghampiri. Betapa di dalam rumah ini kami telah hidup
menyejarah bersama. Rumah ini kami isi dengan perabot hasil rupiah yang kami kumpulkan;
setumpuk demi setumpuk.
Pada
rumah inilah kemudian kami tanam sebuah magnet berkekuatan besar bernama
rasa syukur dan kerinduan. Sehingga kemanapun saya pergi tiada rasa lain selain rindu untuk
kembali ke rumah. Semakin jauh saya pergi semakin kuat pula magnet ini menarik
saya untuk segera kembali.
Saya
seringkali menghadiri seminar-seminar dan rapat dengan fasilitas hotel
berbintang di berbagai kota. Tetapi kualitas kasur di hotel-hotel ini kalah damai dengan lantai
di rumah yang siap kapan saja menerima tubuh saya untuk merebahkan diri. Dalam
kondisi seperti ini seringkali anak-anak menghampiri dan duduk bercanda di
punggung yang penat. Pada momen seperti itulah kemudian kami tanam benih
kerinduan semakin banyak.
Riuhnya teriakan dan
tertawa anak-anak serta teh hangat yang selalu tersaji setiap pagi adalah
beberapa diantara magnet itu.
Rumput-rumput
gajah mini yang saya tanam, adalah sebagian dari rumah kami yang siap menyapa
setiap saya membuka pintu pagi. Dan saya bisa jongkok berlama-lama bersama
mereka, mengairi mereka dan mencabuti rerumputan liarnya. Ini adalah keasyikan
yang tak tergantikan. Di waktu pagi biasanya datang berseliweran para pedagang. Ada
yang jual roti, bubur ayam, ketupat sayur. Kami terbiasa saling sapa, meski saya
jarang membelinya.
Dengan
begitu banyak kedamaian yang tersedia di rumah ini, mendadak rumah ini menjadi semakin besar dibanding rumah kontrakan kami dulu dan menjadi terlalu kecil
untuk menampung segenap perasaan romantisme kami dalam berkeluarga.
Dan begitulah
manusia.... Mereka seringkali terlalu panjang angan-angan sehingga lupa untuk
bersyukur atas apa yang telah mereka dapatkan.
update lagi dong om cerita2nya...sy suka gaya bahasanya...
BalasHapus